"Siri'na pacce" dalam integritas penafsiran
Budaya adalah sesuatu yang sakral dan harus dipelihara, menjadikan sebuah kelompok dituntut bersikap loyal untuk memelihara nilai nilai yang ada. Nilai nilai yang berfungsi untuk menjaga tingkah laku para pengadopsinya. “wujud ideal dari kebudayaan adalah sifatnya abstrak tak dapat diraba atau difoto” . Dengan wujud yang abstrak itu esensi budaya tidaklah berarti tidak jelas, cuman butuh penafsiran penafsiran yang bukan hanya berasal dari budayawan maupun orang yang kompeten dibidang itu, melainkan para pelaku yang mengadopsi suatu budaya.
Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis – Makassar) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identititas serta watak orang Bugis-Makassar, yaitu Siri’ Na Pacce. Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau sesusahan individu lain dalam komunitas. Laica Marzuki pernah menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’.
Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun ini akan menjadi pegangan serta pedoman. Bila mana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran Siri’ na Pacce ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak pihak termasuk saya pribadi sehingga harus di luruskan agar kedepannya ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta cii khas masyarakat Bugis-Makassar kedepannya.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce (Bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse’ (Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup) .
Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:
Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Siri’nya”.
Yang kedua adalah : Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang di merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah Siri’, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara.
Ajaran moral Siri’ punya suku Bugis dan Makassar juga sangat mirip dengan semangat Bushido kaum Samurai Jepang. Kedua ajaran moral tersebut mulai ditinggalkan namun dengan tingkat emosi berbeda. Jepang dengan harakirinya memiliki fislosofi rasa malu harus berakhir dengan kematian di tangan sendiri. Ini berbeda dengan Siri’ dari bugis-makassar yang berarti tidak selamanya harus mati, tapi masalah itu harus tuntas setunta tuntasnya, tidak ada kata pasrah, justru merekapun menganggap mati berarti pasrah dan tak mampu lagi mengatasi masalah. Dan tentunya karena latar belakang Religius maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Yang diatas hanyalah sebuah pengertian serta perkenalan tentang budaya Siri’ Na Pacce’ yang di jadikan masyarakat Bugis-Makassar sebagai falsafah hidup. Sebagai sebuah falsafah butuh penafsiran untuk lebih mengetahui hakikat dari falsafah tersebut. Apakah ia berbentuk sebagai falsafah yang mengajarkan dan menuntut lahirnya kebaikan, atau justru sebaliknya. Karena, potensi lahirnya multi tafsir bisa saja terjadi mengingat falsafah hanyalah berbentuk uraian kalimat yang tidak secara detail menggambarkan tingkah laku.
Hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis - Makassar. Sebagai seorang putera Bugis asli, disintegrasi semacam ini sudah lama terlihat oleh mata kepala sendiri. Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika kita berkaca pada peristiwa peristiwa yang terjadi di Provinsi Sulawesi-Selatan. Mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan chaos, sampai kepada prilaku bermasyarakat yang mulai berujung kepada konflik konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi untuk melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosil bermasyarakat dimasa yang akan datang.
Jadi mau dibawa kemana Siri’ Na Pacce seharusnya ?
Dalam sebuah tulisannya Maula Nusantara mengatakan bahwa : “Falsafah keberanian orang bugis-makassar bukan seperti, “Ini dadaku, mana dadamu!” tidak sesombong dan searogan itu, hasil berdiskusi dengan beberapa budayawan lokal di Makassar waktu mudik lebaran kemarin, falsafah keberanian orang bugis-makassar itu bijak, seperti pelaut yang berkata “kualleangngangi tallangan na toalia” artinya, aku memilih tenggelam daripada kapal kembali surut ke pantai. Jangan langsung ditafsirkan aku memilih mati daripada mundur. Bukan. Bukan seperti itu. Ketika seorang pelaut mengucapkan itu sebelum berlayar, dia berangkat dengan niat dan tujuan yang jelas, benar dan terang.”
Watak yang keras tidak harus menjadikan diri kasar dan semaunya dalam bertindak. Kita berani karena kita berada dalam posisi yang benar, dan memang harus diperjuangkan. Dalam kehidupan bermasyarakat misalkan, jika ada penghinaan terhadap keluarga maka otomatis kita harus bertindak, tidak boleh diam hanya karena ada rasa takut. Dalam bertindak pun tidak mesti diselesaikan dengan ujung badik karena kita berada dalam ruang KeIndonesiaan. Ada hukum yang mengatur dan norma norma yang berlaku. Begitupun dalam konteks pengembangan diri, posisi sebagai Mahasiswa misalkan, Siri’ bisa dijadikan cambuk untuk diri sendiri. Malu karena bodoh, malu karena tidak mampu untuk mengembangkan diri. Karena memiliki siri’ maka ia akan berusaha untuk memperbaiki itu semua disertai dengan kerja keras yang tidak bertentangan dengan norma norma yang ada.
Sebagai salah satu suku yang namanya telah mendunia karena pelaut ulungnya. Bugis-Makassar telah menjelma sebagai sal;ah satu kelompok yang patut diperhitungkan keeksistensiannya. Adanya disintegrasi yang mulai menggerogoti nilai nilai budaya haruslah segera diatasi, bukan karena kepentingan kelompok semata tapi juga terhadap masa depan bangsa Indonesia sendiri, karena yang memanyungi kesemua kelompok kelompok yang ada adalah bangsa ini. “Fanatik kesukuan” bukan lagi sebagai awal perpecahan melainkan salah satu cara bagaimana menjaga eksistensi budaya luhur nenek moyang yang ada.
Dengan adanya perbaikan penafsiran yang luhur terhadap Siri’ Na Pacce akan mendorong lahirnya prilaku perilaku manifest. Yang akan memperlihatkan yang mana masyarakat Bugis-Makassar sesungguhnya. Bukan untuk ditakuti ataupun dimusuhi karena selalu merasa benar, tapi untuk disegani dan diakui karena memang membawa pesan pesan kebenaran dan kedamaian. Dengan membawa prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’ maka Bugis-Makassar telah kembali ke jalur yang tepat membawa ajaran ajaran leluhur yang bebar benar luhur.
Malang 20 Juni 2010
Essai Diperuntukkan Konfrensi Mahasiswa FISP Se-Indonesia
(FISiP FOR NATION 2010_UI)
0 comments
Posting Komentar